Minggu, 17 Februari 2013

Pendekatan Pengembangan Kurikulum






Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam


Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Muhaimin, MA
Dr. Agus Zainul Fitri, M.Pd





Oleh:
ASMAUL CHUSNA
NIM. 2841114010
KELAS A


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
STAIN TULUNGAGUNG
Juli, 2012




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah. Dalam kurikulum terintegrasi filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum disusun oleh para ahli pendidikan/ahli kurikulum, ahli bidang ilmu, pendidik, pejabat pendidikan, pengusaha, serta unsur-unsur masyarakat lainnya. Rancangan ini disusun dengan maksud memberi pedoman kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh siswa sendiri, keluarga, maupun masyarakat.
Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Disana semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan diwujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup. Perwujudan konsep, prinsip, dan aspek-aspek kurikulum tersebut seluruhnya terletak pada guru. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum . dialah sebenarnya perncana, pelaksana, penilai, dan pengembang kurikulum sesungguhnya. Suatu kurikulum diharapkan memberikan landasan, isi, dan menjadi pedoman bagi pengembangan kemampuasn siswa secara optimal sesuai dengan tuntutatn dan tantangan perkembangan masyarakat, oleh karenanya kurikulum perlu dikembangkan hingga benar-benar menemukan rumusan jitunya untuk menjawab tantangan global tersebut.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.                  Apa pengertian pengembangan kurikulum?
2.                  Apa saja prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum?
3.    Bagaimanakah pendekatan-pendekatan dalam pengembangan kurikulum itu?
4.    Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum?
5.    Apa saja hambatan-hambatan dalam pengembangan kurikulum?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk:
  1. Mengetahui pengertian pengembangan kurikulum
  2. Mengetahui prinsip-prinsip pengembangan kurikulum
  3. Mengetahui pendekatan-pendekatan dalam pengembangan kurikulum
  4. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum
  5. Mengetahui hambatan-hambatan dalam pengembangan kurikulum



 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pengembangan Kurikulum
Mengutip pendapat Audrey dan Howard Nichools, Oemar Hamalik dalam Zainal Arifin dikemukakan bahwa pengembangan kurikulum (curriculum development) adalah “the planning of learning oppurtunities intended to bring about certain desired in pupils, and assessment of the extend to which these changes have taken place”. Artinya, pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa peserta didik kearah perubahan-perubahan yang diinginkan serta menilai hingga sejauh mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri peserta didik. Adapun yang dimaksud kesempatan belajar (learning opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol antara peserta didik, guru, bahan, dan peralatan, serta lingkungan belajar. Semua kesempatan belajar yang direncanakan oleh guru bagi para peserta didik sesungguhnya adalah “kurikulum itu sendiri”.[1]
Berdasarkan pengertian tersebut, pengembangan kurikulum sesungguhnya adalah sebuah siklus, suatu proses berulang yang tidak pernah berakhir. Proses kurikulum itu sendiri terdiri atas empat unsur. Pertama, tujuan, yakni mempelajari serta menggambarkan semua sumber pengetahuan dan pertimbangan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang berkenaan dengan mata pelajaran (subject course) maupun kurikulum secara menyeluruh. Kedua, metode dan material, yakni mengembangkan serta mencoba menggunakan metode dan material sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan yang serasi menurut pertimbangan guru. Ketiga, penilaian (assessment) yakni menilai keberhasilan pekerjaan yang telah dikembangkan dalam kaitan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya atau mengembangkan tujuan-tujuan baru. Keempat, feedback, yakni umpan balik dari semua pengalaman yang telah diperoleh, yang pada gilirannya menjadi titik tolak bagi studi selanjutnya.[2]

B.     Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
Nana Syaodih S. membagi prinsip pengembangan kurikulum menjadi dua, yaitu prinsip umum dan khusus.
  1. Prinsip Umum[3]
Pengembangan kurikulum mempunyai lima prinsip umum. Pertama, relevansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu relevansi ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke luar maksudnya adalah tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Selain itu, kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam, yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum (antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian). Relevansi internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
Kedua,  fleksibilitas. Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Kurikulum yang baik adalah yang berisi hal-hal solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu, maupun kemampuan, dan latar belakang peserta didik.
Ketiga, kontinuitas atau kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar peserta didik hendaknya berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus ataupun berhenti-henti. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan secara serempak, sehingga harus selalu ada komunikasi dan kerja sama antara para pemegang kurikulum SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi.
Keempat, praktis. Kurikulum hendaknya mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana, dan biaya murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efisiensi. Kelima, efektivitas. Walaupun kurikulum tersebut harus,sederhana,dan murah tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan.
  1. Prinsip Khusus[4]
a.       Prinsip yang Berkenaan dengan Tujuan pendidikan
Perumusan tujuan pendidikan bersumber pada:
1)        Ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah yang dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen lembaga negara mengenai tujuan, serta strategi pembangunan, termasuk di dalamnya pendidikan
2)        Survey mengenai persepsi orang tua atau masyarakat tentang kebutuhan mereka yang dikirimkan melalui angket atau wawancara
3)        Survey tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu yang dihimpun melalui angket, wawancara, observasi, dan berbagai media massa
4)        Survey tentang manpower
5)        Pengalaman negara-negara lain dalam masalah yang sama
6)        Penelitian
b.      Prinsip yang Berkenaan dengan Pemilihan Isi Pendidikan
Yang perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
1)        Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana. Semakin umum suatu perbuatan hasil belajar dirumuskan, semakin sulit menciptakan pengalaman belajar
2)        Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan keterampilan
3)        Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis.
c.       Prinsip yang Berkenaan dengan Pemilihan Proses Belajar Mengajar
Yang perlu diperhatikan:
1)       Apakah metode yang digunakan cocok untuk mengajar?
2)       Apakah metode memberikan kegiatan yang bervariasi?
3)       Apakah metode memberikan urutan kegiatan bertingkat-tingkat?
4)       Apakah metode tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk mencapai tujuan kognitif, afektif, psikomotor?
5)  Apakah metode mengaktifkan peserta didik, guru, atau keduanya?
6)  Apakah metode dapat mendorong berkembangnya kemampuan baru?
7)       Apakah metode menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah dan rumah?
8)        Untuk belajar keterampilan lebih ditekankan learning by doing disamping learning by seeing and knowing.
d.      Prinsip yang Berkenaan dengan Pemilihan Media dan Alat Pengajaran
Hal-hal yang dapat dipertimbangkan untuk memilih alat:
1)   Alat atau media pengajaran apa yang diperlukan
2)   Pembuatan alat memperhatikan siapa pembuat, biaya, waktu pembuatan
3)   Bagaimana pengorganisasian alat dalam bahan pelajaran, modul, paket belajar, atau lainnya
4)   Bagaimana pengintegrasian dalam keseluruhan kegiatan belajar
5)   Hasil terbaik dengan menggunakan multimedia
e.       Prinsip yang Berkenaan dengan Pemilihan Kegiatan Penilaian
1)   Penyusunan alat penilaian (tes)
2)   Perencanaan suatu penilaian
3)   Pengolahan suatu hasil penilaian

C.    Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Seorang pakar kurikulum, Nana Syaodih Sukmadinata menyebutkan bahwa pendekatan pengembangan kurikulum atau yang dalam istilah di bukunya disebut juga dengan macam-macam model konsep kurikulum itu ada empat macam kurikulum, yaitu: kurikulum subjek akademis, kurikulum humanistik, kurikulum teknologi, dan kurikulum rekonstruksi sosial.[5]
1.      Pendekatan Subjek Akademis
Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik (perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu. Semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya masa lalu tersebut. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. Belajar adalah berusaha menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru.[6]
Isi pendidikan diambil dari setiap disiplin ilmu. Sesuai bidang disiplin para ahli, masing-masing telah mengembangkan ilmu secara sistematis, solid, dan logis. Para pengembang kurikulum tidak perlu susah-susah menyusun dan mengembangkan bahan sendiri, mereka tinggal memilih bahan materi ilmu yang telah dikembangkan para ahli disiplin ilmu kemudian mereorganisasikannya secara sistematis, sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap perkembangan siswa yang akan mempelajarinya.[7]
Tujuan  kurikulum subjek akademis adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”. Dengan berpengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu para siswa diharapkan memiliki konsep-konsep atau cara yang dapat dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas. Sekolah harus memberikan kesempatan kepada para siswa untuk merealisasikan kemampuan mereka menguasai warisan budaya dan jika mungkin memperkayanya.[8]
Metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum subjek akademis ini adalah metode ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi (dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai. Konsep utama disusun secara sistematis dengan ilustrasi yang jelas selanjutnya dikaji. Dalam materi disiplin ilmu yang diperoleh, dicari berbagai masalah penting, kemudian dirumuskan dan dicari cara pemecahannya.[9]
Melalui proses tersebut para siswa akan menemukan bahwa kemampuan berfikir dan mengamati digunakan dalam ilmu kealaman, logika dalam matematika, bentuk dan perasaan digunakan dalam seni dan koherensi dalam sejarah. Mereka mempelajari buku-buku standar untuk memperkaya pengetahuan, dan untuk memahami budaya masa lalu dan mengerti budaya masa kini.[10]
Tentang kegiatan evaluasi, kurikulum subjek akademis menggunakan bentuk evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam bidang studi humaniora lebih banyak digunakan bentuk uraian (essay test) daripada tes objektif. Bidang studi tersebut membutuhka jawaban yang merefleksikan logika, koherensi, dan integrasi secara menyeluruh. Bidang studi seni yang sifatnya ekspresi membutuhkan penilaian subjektif yang jujur, disamping standart keindahan dan cita rasa. Lain halnya dengan matematika, niali tertinggi diberikan bila siswa menguasai landasan aksioma serta cara penghitungan yang benar. Dalam ilmu kealaman penghargaan tertinggi bukan hanya diberikan kepada jawaban yang benar tetapi juga pada proses berpikir yang digunakan siswa.[11]
Masalah besar yang dialami oleh para pengembang kurikulum subjek akademis ini adalah bagaimana memilih materi pelajaran dari sekian banyak disiplin ilmu yang ada. Apabila ingin menguasai dengan cukup mendalam maka jumlah disiplin ilmunya harus sedikit. Apabila hanya mempelajari sedikit disiplin ilmu maka penguasaannya para siswa akan sangat terbatas, dan sukar menerapkan dalam kehidupan masyarakat luas. Apabila disiplin ilmunya cukup banyak maka penguasaannya akan mendangkal. Ada beberapa saran untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu:[12]
a.       Mengusahakan adanya penguasaan yang menyeluruh (comprehensiveness) dengan menekankan pada bagaimana cara menguji kebenaran atau mendapatkan pengetahuan.
b.      Mengutamakan kebutuhan masyarakat (social utility) memilih dan menentukan aspek-aspek dari disiplin ilmu yang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat
c.       Menekankan pengetahuan dasar yaitu pengetahuan-pengetahuan yang menjadi dasar bagi penguasaan disiplin-disiplin ilmu yang lainnya.
Para pengembanga kurikulum subjek akademis, lebih mengutamakan penyusunan bahan secara logis dan sistematis daripada menyelaraskan urutan bahan dengan kemampuan berfikir anak. Mereka umumnya kurang memperhatikan bagaimana siswa belajar dan lebih mengutamakan susunan isi, yaitu apa yang akan diajarkan. Proses belajar yang ditempuh oleh siswa sama pentingnya dengan penguasaan konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi. Para ahli kurikulum subjek akademis juga memandang materi yang akan diajarkan bersifat universal, mereka mengabaikan karakteristik siswa dan kebutuhan masyarakat setempat.[13]
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan diatas dalam perkembangan selanjutnya dilakukan beberapa penyempurnaan. Pertama, untuk mengimbangi penekanannya pada proses berfikir, mereka mulai mendorong penggunaan intuisi dan tebak-tebakan. Kedua adanya upaya-upaya untuk menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan individu dan kebutuhan setempat. Ketiga, pemanfaatan fasilitas dan sumber yang ada pada masyarakat.[14] 

2.      Pendekatan Humanistis
Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (personalized education) yaitu John Dewey (Progressive Education) dan J.J Rosseau (Romantic Education). Aliran ini lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan. Ia adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanis juga berpegang pada konsep Gestalt, bahwa individu atau anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang utuh bukan saja dari segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, niali, dan lain-lain).[15]
Pandangan mereka berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang lebih menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru. Pendidikan humanistik menekankan peranan siswa. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menciptakan situasi yang permisif, rileks, akrab. [16]
Pendidikan mereka lebih menekankan bagaimana mengajar siswa (mendorong siswa) dan bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu. Tujuan pengajaran adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Ada beberapa aliran yang termasuk dalam pendidikan humanistik yaitu pendidikan: konfluen, kritikisme radikal, dan mistikisme modern.[17]
Kurikulum humanistik mempunyai beberapa karakteristik, berkenaan dengan tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Menurut para pakar humanis kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman berharga untuk membantu memperlancar perkembangan pribadi murid. Bagi mereka tujua pendidikan adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, dan belajar. Semua itu merupakan bagian dari cita-cita perkembangan manusia yang teraktualisasi (self actualizing person).[18]
Kurikulum humanistik menuntut hubungan yang baik antara guru denga murid. Guru selain dapat menciptakan hubungan yang hangat, dapat menjadi sumber, memberikan materi yang menarik, dan mampu menciptakan yang memperlancar proses belajar, guru memberikan dorongan kepada murid atas dasar sikap saling peraya. Peran mengajar bukan hanya dilakukan oleh guru tetapi juga oleh murid. Guru tidak memaksakan sesuatu yang tidak disenangi murid.[19]
Dalam evaluasi kurikulum humanistik berbeda dengan yang biasa. Model lebih mengutamakan proses daripada hasil. Kalau kurikulum yang biasa terutama subjek akademis mempunyai kriteria pencapaian, maka dalam kurikulum humanistik tidak ada kriteria. Sasaran mereka adalah perkembangan anak supaya menjadi manusia yang lebih terbuka, lebih berdiri sendiri. Kegiatan yang mereka lakukan hendaknya bermanfaat bagi siswa. Kegiatan belajar yang lebih baik adalah yang memberikan pengalaman yang akan membantu para siswa memperluas kesadaran akan dirinya dan orang lain dan dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Penilaian bersifat subjektif baik dari guru maupun para siswa.[20]

3.      Pendekatan Teknologis
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di bidang pendidikan berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu menekankan isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemeliharaan dan pengawetan ilmu tersebut tetapi pada penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih sempit/khusus dan akhirnya menjadi perilaku-perilaku yang dapat diamati atau diukur.[21]
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam dua bentuk, yaitu perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology), sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga teknologi system (system technology).[22]
Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih menekankan kepada penggunaan alat-alat teknologis untuk menunjang efisiensi dan efektifitas pendidikan. Kurikulum berisi rencana-rencana penggunaan berbagai alat dan media, juga model-model pengajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat. Contoh-contoh model pengajaran tersebut adalah: pengajaran dengan bantuan video/film, pengajaran berprogram, mesin pengajaran, pengajaran modul, pengajaran dengan bantuan komputer.[23]
Dalam arti teknologi sistem, teknologi pendidikan menekankan kepada penyusunan program pengajaran atau rencana pelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem. Program pengajaran ini bisa semata-mata program sistem, bisa program sistem yang ditunjang dengan alat dan media, dan bisa juga program sistem yang dipadukan dengan alat dan media pengajaran.[24]
Kurikulum yang dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan, memiliki beberapa ciri khusus, yaitu:[25]
a.       Tujuan. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan-tujuan yang bersifat umum yaitu kompetensi dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus, yang disebut objektif atau tujuan instruksional.
b.      Metode. Metode yang merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi respons yang diharapkan maka respons tersebut diperkuat.
c.       Organisasi bahan ajar. Bahan ajar atau isi kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan sesuatu kompetensi.
d.      Evaluasi. Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada akhir suatu pelajaran, suatu unit ataupun semester.
Program pengajaran teknologis sangat menekankan efisiensi dan efektifitas. Program dikembangkan melalui beberapa kegiatan uji coba dengan sampel-sampel dari suatu populasi yang sesuai, direvisi beberapa kali sampai standart diharapkan dapat tercapai. Dengan model pengajaran ini tingkat penguasaan siswa dalam standart konvensional jauh lebih tinggi dibandingkan dengan model-model lain. Apalagi kalau digunakan program-program yang lebih berstruktur seperti pengajaran berprogram, pengajaran modul, atau pengajaran dengan bantuan video dan computer, yang dilengkapi dengan system umpan balik dan bimbingan yang teratur dapat mempercepat dan meningkatkan penguasaan siswa.[26]
Model ini terbatas kemampuannya untuk mengajarkan bahan ajar yang kompleks atau membutuhkan penguasaan tingkat tinggi (analisis, sintesis, evaluasi) juga bahan-bahan ajar yang bersifat afektif. Beberapa percobaan menunjukkan kemampuan siswa untuk menstranfer hasil belajar cukup rendah. Pengajaran teknologis sukar untuk dapat melayani bakat-bakat siswa belajar dengan metode-metode khusus. Metode mengajar mereka cenderung seragam, bila sikapnya positif maka siswa akan berhasil, tetapi bila sikapnya negative, tingkat penguasaannyapun relatif rendah. Masalah kebosanan juga berpengaruh terhadap proses belajar.[27]

4.      Pendekatan Rekonstruksi Sosial
Kurikulum rekonstruksi sosial berbeda dengan model-model kurikulum lainnya. Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi, kerja sama (guru-siswa, siswa-siswa, siswa-lingkungan, siswa-sumber belajar lainnya). Melalui interaksi dan kerjasama ini siswa berusaha memecahkan problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.[28]
Para rekonstruksionis sosial tidak mau terlalu menekankan kebebasan individu. Mereka ingin menyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat membuat warganya seperti yang ada sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya melalui konsensus sosial. Para rekonstruksionis mendorong para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (krusial) dan kerjasama atau bergotong royong untuk memecahkannya.[29]
Ada beberapa ciri dari desain kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu:[30]
a.       Asumsi. Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan yang dihadapi manusia.
b.      Masalah-masalah sosial yang mendesak. Kegiatan belajar dipusatkan pada masalah-masalah sosial yang mendesak
c.       Pola-pola organisasi. Pada tingkat sekolah menengah, pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda. Di tengah-tengahnya sebagai poros dipilih sesuatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno.
Pengajaran rekonstruksi sosial banyak dilaksanakan di daerah-daerah yang tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan potensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi tersebut, dengan bantuan biaya  dari pemerintah sekolah berusaha mengembangkan potensi tersebut. Di daerah pertanian umpamanya sekolah mengembangkan bidang pertanian dan peternakan, di daerah industri mengembangkan bidang-bidang industri. [31]
Para ahli kurikulum yang berorientasi ke masa depan menyarankan agar isi kurikulum difokuskan pada: penggalian sumber-sumber alam, dan bukan alam, populasi, kesejahteraan masyarakat, masalah air, akibat pertambahan penduduk, ketidakseragaman pemanfaatan sumber-sumber alam, dan lain-lain.[32]
Pandangan rekonstruksi sosial berkembang karena keyakinanya pada kemampuan manusia untuk membangun dunia yang lebih baik. Juga penekanannya tentang peranan ilmu dalam memecahkan masalah-masalah sosial. Beberapa kritikus pendidikan menilai pandangan ini sukar diterapkan langsung dalam kurikulum (pendidikan). Penyebabnya adalah interpretasi para ahli tentang perkembangan dan masalah-masalah sosial berbeda. Kemampuan warga untuk ikut serta dalam pemecahan masalah juga bervariasi. [33]

D.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum
Sekolah mendapatkan pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat, terutama dari perguruan tinggi dan masyarakat.
  1. Perguruan Tinggi
Kurikulum minimal mendapat dua pengaruh dari PT (Perguruan Tinggi) pertama, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Kedua, dari pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru di Perguruan Tinggi Keguruan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan).[34]
Jenis pengetahuan yang dikembangkan di Perguruan Tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media pendidikan.[35]
Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga mempengaruhi pengembangan kurikulum, terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari guru-guru yang dihasilkannya. Penguasaan ilmu, baik ilmu pendidikan maupun bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru-guru akan sangat mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah.[36]
  1. Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak untuk kehidupan bermasyarakat. Sebagai bagian dari agen di masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dimana sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya.[37]
  1. Sistem Nilai
Masyarakat umumnya heterogen dan multifaset, banyak nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat memiliki kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, kelompok spiritual. Dalam masyarakat juga terdapat aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, estetika, etika, religious, dsb. Sistem nilai itu juga berpengaruh pada kurikulum di sekolah baik secara tujuan, isi, metode, maupun evaluasi.[38]

E.     Hambatan-hambatan Dalam Pengembangan Kurikulum
  1. Guru
Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, hal ini disebabkan oleh beberapa antara lain: karena kurang waktu, kurang kesesuaian antara sesame guru maupun kepala sekolah dan administrator, kemampuan dan pengetahuan guru sendiri yang masih belum memadai.[39]
  1. Masyarakat
Masyarakat disini sebagai sumber input bagi sekolah. Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat.[40]
  1. Biaya
Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan eksperimen baik metode, isi, atau sistem secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering tidak sedikit.[41]
  1. Inkoherensi dalam artikulasi kurikulum
Artikulasi dalam pendidikan berarti “kesatupaduan dan koordinasi segala pengalaman belajar”. Untuk merealisasikan artikulasi kurikulum, perlu meneliti kurikulum secara menyeluruh, membuang hal-hal yang tidak diperlukan, menhilangkan duplikasi, merevisi metode serta isi pengajaran, mengusahakan perluasan dan kesinambungan kurikulum.
Untuk menyusun artikulasi kurikulum diperlukan kerjasama dari berbagai pihak: para administrator, kepala sekolah TK sampai rektor universitas,  guru-guru dari setiap jenjang pendidikan, orang tua murid, dan tokoh-tokoh masyarakat. Pelaksanaan penyusunan artikulasi kurikulum itu tidak mudah karena perlu melibatkan pihak-pihak terkait yang telah disebutkan itu, sehingga karena faktor kesulitan dalam proses kerjasamanya maka seringkali tidak adanya koherensi dalam artikulasi kurikulum.
  1. Sistem nilai yang heterogen
Masalah yang juga dihadapi oleh pengembang kurikulum adalah bahwa dalam masyarakat nilai itu tidak hanya satu. Masyarakat umumnya heterogen dan multifaset. Masyarakat memiliki kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, spiritual, dan sebagainya yang tiap kelompok itu memiliki nilai yang berbeda.[42]
  1. Kurangnya kolaborasi dan koordinasi antara ahli teorisi dan praktisi
Pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas konsep-konsep dalam ilmu namun juga atas dasar perubahan perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat. Dalam pengembangan kurikulum yang sesuai dengan kondisi jaman maka dibutuhkan kolaborasi antara para ahli teorisi (ahli pendidikan dan ahli kurikulum) yang mempunyai wawasan dalam bidang keilmuan dengan para praktisi yang mengimplementasikan pelaksanaan pengembangan kurikulum di lapangan.  Jika terjadi kurangnya kolaborasi dan koordinasi antara ahli teori dengan ahli praktik maka pengembangan kurikulum tidak akan berjalan dengan efektif efisien.
  1. Kurangnya partisipasi orang tua murid
Orang tua juga memiliki peranan dalam pengembangan kurikulum baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum. Meskipun dalam penyusunan kurikulum tidak semua orang tua mampu karena hanya orang tua yang memiliki kemampuan memadai dalam hal tersebut namun dalam pelaksanaan kurikulum orang tua memiliki peranan yang besar.
Terutama dalam pelaksanaan kurikulum di rumah yaitu dengan mengamati dan mengikuti kegiatan belajar anaknya di rumah. Orang tua juga dapat berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah seperti diskusi, lokakarya, seminar, pertemuan orang tua-guru, pameran sekolah, dan sebagainya.





BAB III
ANALISA

Dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. Setidaknya sudah enam kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah yakni kurikulum 1962, 1968, 1975, 1994, KBK, KTSP. Namun hingga kini dunia pendidikan kita bisa dikatakan belum mampu melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial yang dibuktikan dengan kenyataan empiris kian maraknya kasus korupsi, kolusi, manipulasi yang dilakukan oleh orang-orang yang notabenenya kenyang pendidikan. Yang lebih memprihatinkan lagi negeri kita dinilai hanya mampu menjadi bangsa penjual tenaga kerja murah di negeri orang, kenyataan semacam itu disadari atau tidak sering dijadikan indikator bahwa dunia pendidikan kita telah gagal melahirkan generasi ahli yang memiliki kompetensi untuk bersaing di dunia global meskipun telah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum.
Agar perubahan kurikulum itu tidak hanya sekedar membenahi dokumen tertulis saja tanpa memperbaiki proses dan pelaksanaannya di tingkat sekolah maka perlu dirumuskan pendekatan pengembangan kurikulum yang tidak hanya berlandaskan konsep-konsep keilmuan namun juga berlandaskan pada persoalan nyata sesuai perkembangan jaman sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara global. Meskipun masing-masing pendekatan pengembangan kurikulum yang telah dibahas pada bab sebelumnya memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri-sendiri, tapi atas tujuan agar peserta didik dapat menjadi pribadi utuh yang berguna, bermartabat, dan mandiri dalam kehidupan masyarakat dunia maka disini pemakalah lebih setuju bilamana pendekatan pengembangan kurikulum memadukan ketiga pendekatan, yaitu kurikulum humanistis, kurikulum teknologi, dan kurikulum rekonstruksi sosial.
Kurikulum humanistis yang berlandas dari teori pendidikan pribadi akan menempatkan peserta didik sebagai subjek pendidikan yang mana pendidikan bertolak dari kebutuhan dan minat dari peserta didik sendiri, dan guru berperan sebagai pembimbing, motivator, dan fasilitator bagi siswa. Kurikulum teknologi yang berlandas dari teori teknologi pendidikan akan membentuk penguasaan kompetensi yang berorientasi pada masa sekarang dan masa mendatang. Kurikulum rekonstruksi sosial yang berlandas pada teori pendidikan interaksional yang bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang hidupnya saling membutuhkan satu sama lain, karena kehidupan yang sosialis itulah manusia mampu berkembang, memenuhi kebutuhan hiup, dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi.
Pemakalah tidak begitu sependapat bilamana model konsep kurikulum dengan pendekatan pada subjek akademis masih tetap dipaksakan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Sebab pendekatan subjek akademis yang berlandaskan dari teori pendidikan klasik akan mengakibatkan peserta didik mengerti banyak wawasan keilmuan namun tidak dapat memahami secara mendalam materi yang dipelajari atau dalam kata lain para peserta didik itu “tahu sedikit tentang banyak”, sehingga tidak melahirkan output pendidikan yang benar-benar ahli dalam suatu spesialisasi keilmuan tertentu malah justru output pendidikan tidak jelas keahliannya. Selain itu kelemahan dari konsep pendekatan subjek akademis ini secara tidak langsung akan membebani siswa secara fisik maupun psikis karena dalam pelaksanaan pendidikannya di sekolah siswa mendapat beban belajar yang lebih banyak untuk menyelesaikan seperangkat materi yang sudah dipatok

DAFTAR RUJUKAN


Arifin, Zaenal. Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam. Jogjakarta: DIVA Press, 2012.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.



[1] Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan islam (Jogjakarta: Diva Press), 42.
[2] Ibid.,43.
[3] Nana Syaodih S, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosadakarya, 2011), cet.ke-14, 150-151.
[4] Ibid.,152-155
[5] Nana Syaodih S, Pengembangan Kurikulum…..81-86.
[6] Ibid.,81.
[7] Ibid.,81-82.
[8] Ibid.,84.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.,85.
[12] Ibid.
[13] Ibid.,86.
[14] Ibid.
[15] Ibid.,86.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.,90.
[19] Ibid.
[20] Ibid.,91.
[21] Ibid.,96.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.,97.
[26] Ibid.,98.
[27] Ibid.
[28] Ibid.,91.
[29] Ibid.,92.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Ibid.,95.
[33] Ibid.
[34] Ibid.,158.
[35] Ibid.
[36] Ibid.,159.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Ibid.,160.
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Ibid.,159.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar