Jumat, 20 Januari 2012

Karena Sebuah Apel

Suatu ketika seorang lelaki shalih bernama Tsabit bin Ibrahim berjalan di perbatasan Kota Kufah. Kemudian, ia melihat sebuah apel terjatuh di luar pagar suatu kebun buah-buahan. Melihat apel merah yang ranum dan tergeletak di tanah, muncullah selera Tsabit, apalagi hari itu cuaca sedang panas terik. Tanpa berpikir panjang Tsabit memunggut dan memakan apel itu. Namun saat setengah memakannya Tsabit ingat bahwa apel itu bukan miliknya dan ia belum mendapat izin dari pemiliknya.
Lelaki itu bergegas untuk masuk ke dalam kebun itu untuk menemui pemilik kebun itu dan memintanya menghalalkan sebuah apel yang telah dimakannya. Di kebun itu Tsabit bertemu dengan seorang lelaki, dan ia berkata padanya “Aku sudah memakan setengah dari buah apel ini, aku berharap anda menghalalkannya”, namun orang itu menjawab  “Aku bukan pemilik kebun ini, aku hanya orang yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebun ini.”
Tsabit pun bertanya “Dimana rumah pemilik kebun ini?” Aku harus menemuinya untuk meminta dia menghalalkan apel yang telah kumakan ini.”  “Untuk sampai kesana engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam” jawab penjaga kebun. “Tidak mengapa aku akan tetap pergi menemuinya, meski rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah SAW sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: ‘Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka’, kata Tsabit mantap.
Dia pergi ke rumah yang ditunjukkan penjaga kebun. Setiba disana dia langsung mengetuk pintu. Pemilik rumah membukakan pintu. Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, “Wahai Tuan, saya terlanjur memakan setengah dari sebuah apel yang jatuh ke luar dari kebun milik Tuan. Karena itu, saya datang untuk meminta Tuan menghalalkan apa yang sudah saya makan itu.” Lelaki tua pemilik kebun itu mengamati Tsabit dengan cermat. Lalu dia berkata, “Tidak! Aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit khawatir tidak dapat memenuhi syarat itu, namun ia tidak punya pilihan. “Apa syarat itu, Tuan?” Pemilik kebun menjawab dengan jawaban diluar dugaan “Engkau harus menikahiku putriku!”
Tsabit bin Ibrahim terkejut “Hanya karena aku makan setengah buah apel yang jatuh keluar dari kebun Tuan, saya harus menikahi putri Tuan?” Tsabit membuat pertanyaan dengan penuh keheranan. Pemilik kebun tidak peduli. Bahkan ia menambahkan, “Engkau juga harus tahu. Putriku punya banyak kekurangan. Ia buta, bisu, tuli, dan juga lumpuh”. Tsabit terkejut. Haruskah ia menikahi perempuan seperti itu hanya karena ia memakan sebuah apel tidak dihalalkan baginya?. Pemilik kebun itu kembali menegaskan sikapnya, “ Aku tidak akan menghalalkan apel yang engkau makan kecuali engkau penuhi syarat itu.”
Pria saleh yang tidak ingin di tubuhnya ada barang haram dengan tegas menjawab, “Baik, aku terima karena aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Alloh Yang Maha Kuasa. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Alloh meridhaiku. Mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Alloh.” Tak berapa lama kemudian pernikahanpun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi untuk menyaksikan akad nikah itu. Setelah akad nikah selesai, Tsabit dipersilahkan menemui istrinya, “Assalamu’alaikum!” Tsabit tetap mengucapkan salam, walau tahu istrinya tuli dan bisu. Tsabit kaget. Ada suara wanita menjawab salamnya. Tsabit masuk menghampiri wanita itu. Wanita itu mengulurkan tangannya menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut.
Setelah duduk di samping istrinya, Tsabit bertanya, “Ayahmu mengatakan padaku bahwa kamu buta. Mengapa?” wanita itu menjawab, “Ayahku benar, aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Alloh.” Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan kamu tuli, mengapa?” “Ayahku benar. Aku tidak pernah mau mendengarkan berita dan cerita orang yang tidak membuat Alloh ridha.” Jawab wanita itu. “Ayahku pasti juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh?” Tsabit mengangguk mengiyakan pertanyaan istrinya itu. “Aku dikatakan bisu karena aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Alloh saja. Aku dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang membuat Alloh murka”. Tsabit begitu bahagia. Ia mendapat istri yang shalihah dan cantik jelita. Mereka hidup rukun dan bahagia. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai seorang putra yang kelak menjadi ulama yang menjadi rujukan dunia. Seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar