Senin, 02 Januari 2012

Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas dan Kualitas

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an untuk memberi petunjuk kepada kehidupan umat manusia. Apa yang tidak diuraikan dalam Al Qur’an akan dijelaskan secara gamblang dalam sebuah hadits, karena pada dasarnya hadits merupakan perkataan, ajaran, perbuatan Rasulullah SAW.
Ilmu hadits telah menyedot perhatian ulama sejak awal perkembangan Islam hingga saat ini, bahkan khazanah Islam lebih banyak dipenuhi kitab-kitab hadits dibanding misalnya kitab tafsir. Ini menunjukkan pentingnya kedudukan hadits dalam Islam.
Kita sebagai seorang muslim tidak menyakini bahwa semua hadits adalah shahih, namun juga tidak benar bila menganggap bahwa semua hadits adalah palsu sebagaimana anggapan para orientalis. Untuk mengetahui tentang kedudukan/martabat suatu hadits di mata hukum yang selanjutnya dari hadits tersebut bagaimana dapatnya dijadikan sebagai sandaran/landasan hukum maka perlu difahami tentang keadaan suatu hadits baik dinilai dari sifat perawinya, sanad-nya, maupun matan dari hadits itu. 


B.    RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut, dalam makalah ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.     Bagaimanakah hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?
2.     Bagaimanakah hadits ditinjau dari segi kualitasnya?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA
Dalam menyampaikan sebuah hadits terkadang Nabi berhadapan dengan orang yang jumlahnya amat banyak, terkadang dengan beberapa orang, terkadang pula hanya dengan satu atau dua orang saja. Demikian juga halnya dengan para Sahabat Nabi, untuk menyampaikan hadits tertentu ada yang didengar oleh banyak murid, tetapi hadis yang lainnya lagi didengar oleh beberapa orang, bahkan ada yang didengar oleh satu orang saja. Begitu seterusnya sampai dengan generasi yang mengabadikan hadits dalam kitab-kitab. Sudah barang tentu, informasi yang dibawa oleh banyak orang lebih menyakinkan dibandingkan dengan informasi yang dibawa oleh hanya satu atau dua orang. [1]
Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits yang ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, ahad, dan ada yang membaginya menjadi dua yakni hadits mutawatir dan ahad. [2]
Ulama golongan pertama yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadis ahad dianut sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al Jashshah (305-307 H). Adapun golongan kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari hadits ahad, itulah sebabnya mereka membagi hadits menjadi dua bagian, yaitu mutawatir dan ahad.
1.     Hadist Mutawatir
a.     Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi, yakni sesuatu yang datang kemudian, beriring-iringan, atau berurutan antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya.
Sedangkan mutawatir menurut istilah, sebagaimana Mudasir menulis dalam bukunya dengan mengambil definisi dari Nur Ad-Din ‘Atar:[3]
ا لّذ ي رواه جمع كثير لا يمكن توا طؤهم على الكذب عن مثلهم انتهاءالسّند و كان مستندهم الحسّ
Arti: “hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada pancaindera”.

b.     Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Mengenai syarat-syarat hadits mutawatir ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Ulama mutaqaddimin tidak membicarakan syarat bagi hadist mutawatir. Menurut mereka, khabar mutawatir yang sedemikian sifatnya, tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al- hadits, sebab ilmu ini membicarakan sahih atau tidaknya suatu hadits, diamalkan atau tidaknya suatu hadist, dan juga membicarakan adil tidaknya rawi, sedangkan hadits mutawatir tidak membicarakan masalah-masalah tersebut. Bila suatu hadits telah diketahui statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak boleh ada keraguan serta bagi orang yang mengingkarinya dihukumi kafir sekalipun diantara perawinya adalah orang kafir. Sedangkan menurut ulama mutaakhirin dan ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai hadis mutawatir bila memenuhi syarat-syarat berikut ini.[4]
1.     Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Hadits mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama yang tidak mengisyaratkan jumlah tertentu, mereka menegaskan bahwa yang penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya. Antara lain yaitu: [5]
a)     Abu at-Thayyib at-Tabarii, mengharuskan lebih dari 4 dengan alasan banyaknya saksi diperlukan oleh hakim untuk tidak menjatuhkan vonis terhadap terdakwa.
b)     Ashab as-Syafi’ii menentukan minimal 5 orang. Al Ustadz Abu Mansuur menceritakan dari al Jubaa’ii, jumlah 5 ini berdasarkan pada jumlah rasul ulul azmi. Pendapat ini lemah karena tidak ada hubungannya dengan kajian persoalan dalam beberapa aspek.
c)     Ada yang mengatakan 7 dengan pertimbangan jumlah Asbab al-kahfi. Pendapat ini dinilai ulama salah karena tidak ada relevansinya dengan tema.
d)     Sebagian ulama menentukan sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Alloh dalam Surat Al Anfal 65, yang artinya: “Jika ada 20 orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan 200 musuh”
e)     Ulama lain yang menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Sesuai dengan jumlah yang diisyaratkan dalam jumlah sholat Jum’ah.
Jumlah perawi sebagaimana yang disebutkan diatas, tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat, karena alasan yang dikemukakan oleh mereka semua tidak mengacu pada tema persoalan yang dibahas dan cenderung bersifat rasional. Tema persoalan yang pokok adalah jumlah perawi yang bisa dijadikan ukuran untuk mendapatkan ilmu dharurii. Meskipun jumlah rawi itu tidak banyak akan tetapi bisa memberi kesan bahwa berita yang mereka sampaikan benar-benar menyakinkan, bisa dikategorikan hadits mutawatir. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah minimalnya dan menurut pendapat yang terpilih minimal sepuluh perawi.[6]
2.     Adanya keseimbangan antarperawi pada thabaqat (lapisan) pertama dengan thabaqat berikutnya.
Jumlah perawi hadits mutawatir, antara thabaqat dengan thabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu hadits diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian diterima oleh 10 tabi’in maka tidak dapat digolongkan hadits mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat seterusnya.
3.     Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindera, artinya bahwa berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Dengan demikian, bila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun hasil istinbat dari dalil lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
4.     Mustahil bersepakat bohong [7]
Misalnya para perawi dalam sanad itu datang dari berbagai negara yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula. Sejumlah para perawi yang banyak ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan berbohong secara tradisi. Pada masa awal pertumbuhan hadits, memang tidak bisa dianalogikan dengan masa modern sekarang ini. Disamping kejujuran, dan daya memori mereka yang masih andal, transportasi daerah yang tidak semudah sekarang, perlu waktu yang berbulan-bulan untuk kunjungan ke suatu negara. Berdasarkan ini, jika periwayatan suatu hadits berjumlah besar sangat sulit mereka sepakat bohong dalam suatu periwayatan. Diantara alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini Karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modern dan kejujuran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk berkonsensus berbohong.

c.      Hukum Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (yufid ila ‘ilmi al-dharuri), yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadits mutawatir tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti). [8]
Hadist mutawatir mengandung hukum qath’i al tsubut, memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadits mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadits mutawatir. Mengingkari hadits mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti bersumber dari Rasulullah.[9] Oleh karena itu, hadits mutawatir seluruhnya maqbul, sehingga tidak diperlukan penelitian terhadap keadaan perawi-perawinya (sanad) dan dapat dijadikan hujjah.
Ibnu Taimiyah[10] mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawatir oleh sebagian golongan lain dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang telah menyakini akan kemutawatiran suatu hadits, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan sesuai dengan tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengetahui dan menyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan suatu hadits mutawatir yang disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli ilmu.  

d.     Macam-macam Hadits Mutawatir
Sebagian ulama membagi hadits mutawatir menjadi tiga macam, yakni: mutawatir lafzhi, mutawatir ma’nawi, dan mutawatir ‘amali. Sebagian ulama lain seperti ulama Ushul Fikih membagi menjadi dua macam, yakni: mutawatir lafzhi, dan mutawatir ma’nawi.
Perbedaan jumlah tidak menjadi persoalan karena jumlah dapat dipersingkat menjadi kecil dan dapat diperinci menjadi banyak yang penting substansinya adalah sama. Bagi yang menghitung dua macam maka mutawatir ‘amali pada kedua macam di atas, karena ia melihat hadits mutawatir ‘amali sudah berbentuk periwayatan yang tidak lepas dari dua bentuk tersebut.
a.     Mutawatir Lafzhi
Mutawatir Lafzhi adalah:[11]   

ماتواترلفظه ومعناه

                              “hadis yang mutawatir lafal dan maknanya”.
Definisi di atas yang biasa dikemukakan dalam buku-buku ilmu hadis. Namun, pengertian di atas perlu mendapat penjelasan yang lebih rinci, karena mutawatir lafzhi tidak diartikan mesti lafal dan redaksinya sama persis dari satu perawi dengan perawi yang lain, mungkin redaksi dan lafalnya berbeda tetapi satu makna dalam hukum dan makna yang ditunjuk jelas dan tegas.
Contoh mutawatir lafzhi:
من كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النار
Artinya: “siapa yang mendustakan atas diriku secara sengaja maka hendaklah mempersiapkan tempat duduknya di neraka”.  
Lafazh-lafazh yang orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh tersebut, diantaranya ada yang berbunyi begini:
                        من تقوّل عليّ ما لم اقل فليتبوّأ مقعده من النّار (ابن ماجه)
Artinya: Barangsiapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakana, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka. (Ibnu Majah)
                        Dan ada lagi yang begini:
ومن قال عليّ مالم اقل فليتبوّأ مقعده من النّار (الحاكم)  
Artinya: Dan barangsiapa berkata atas (nama-ku) sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka. (Hakim)
Maknanya semua sama. Kelainan lafazh itu timbulnya, boleh jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali. Dari tiga contoh itu, tahulah kita bahwa yang dinamakna mutawatir lafzhi tidak mesti lafazhnya semua sama betul-betul. Hadits tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadits, diantaranya: Bukhari, Muslim, Darimi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Turmudzi, ath Thayalisi, Abu Hanifah, Thabarani, dan Hakim, sebagai berikut:[12]

Al Bukhari:
Musa
Abu ‘Awanah
Abu Hushain
Abu Hurairah

Muslim:
Ali b. Al Hidir
Ali b. Mushir  Muhammad b.
Qais
Ali b. Rabi’ah
Al Mughirah
Ad Darimi:
Muhammad b. iesa
Hai-tsam
Abuz Zubair
Jabir
Abu Dawud:
‘Amr b.’Aun
Musaddad
Wabrah
‘Amir
‘Abdullah b. Az Zubair
Az Zubair
Ibnu Majah:
Muhammad b. Ramh
Al Laits
AbnuSyihab
Anas


Sabda Nabi: “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya dari neraka”.


Al Turmudzi:
Abu Hisyam
Abu Bakr b. ‘Ayyasy
‘Ashim
Zirr
Ibnu Mas’ud
Ath Thayalisi:
‘Abdurrahman Abiz Zinad
‘Amir b. Sa’ied
‘Utsman
Abu Hanifah:
‘Athiyah
Abi Sa’ied Al Khudri
Ath Thabarani:
Abu Ishaq Ibrahim
Nubaith b. Syarieth
Al Hakim:
Abul Fadl b.Al Husain
Muhammad b.A.Wahhab
Ja’far b. ‘aun
Abu Hayyan
Jazid b. Hayyan
Zaid b. Arqam


            Contoh lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Turmudzi, hadis ini diriwayatkan oleh 27 sahabat:
نز ل القران على سبعة أحرف
Artinya: “Al Qur’an diturunkan atas tujuh huruf (tujuh macam bacaan)”.
b.     Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir ma’nawi adalah hadist yang mutawatir maknanya bukan lafalnya. Mutawatir ma’nawi adalah sesuatu yang mutawatir maksud makna hadis secara konklusif, bukan makna dari lafalnya, makna lafal boleh berbeda antara beberapa periwayatan para perawi, tetapi maksud kesimpulannya sama.
Sebagian ulama mendefinisikannya sebagai berikut:[13]
ما اجتلفوا في لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كليّ
Hadis yang berbeda lafal dan maknanya, tetapi kembali kepada satu makna yang umum.
 Sebagian lagi mendefinisikan sebagai berikut:[14]
وهو أن ينقل جما عةٌ يستحيل تواطؤهم على الكذب وقائع مختلفةٌ تشترك في أمر
Hadits mutawatir ma’nawi adalah periwayatan jamaah (banyak orang) yang mustahil kesepakatan bohong pada beberapa peristiwa yang berbeda tetapi sama dalam perkaranya (permasalahannya)
Berikut ini beberapa contoh hadits mutawatir maknawi tentang mengangkat tangan pada waktu berdoa, yaitu:[15]
ما ر فع رسول الله صلىّ الله عليه وسلّم يديه حتىّ رءوي بياض ابطيه بشئ من دعا ئه الاّفى الاستسقاء (متفق عليه)
Artinya: “Rasulullah Saw pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat ketiaknya putih kecuali pada waktu berdoa memohon hujan.” (H.R Bukhari dan Muslim)

قال عمر ابن ألخطّاب: كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: اذارفع يديه فى الدّ عاء لم يحطّهما حتّى يمسح بهما وجهه. (رواه الترمذى)
Artinya: “Umar bin Khattab berkata, “Rasululloh bila telah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa, belum menurunkan keduanya sebelum menyapukan kedua tangannya itu ke mukanya” (H.R Tirmidzi)
Kedua hadits tersebut diatas, berbeda redaksi dan perincian maknanya, tapi mengandung pengertian umum yang sama, yaitu Rasulullah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa.
Hadits yang berkaitan dengan mutawatir ma’nawi banyak diantaranya hadist tentang syafaat, hadist tentang qadha’, hadits tentang rukyah, hadits tentang mizan, hadits tentang sirat al-muataqim, dll.
c.      Mutawatir ‘Amali
Perbuatan dan pengalaman syari’ah Islamiyah yang dilakukan Nabi saw secara praktis dan terbuka disaksikan dan diikuti oleh para sahabat adalah mutawatir ‘amali, sebagaimana yang didefinisikan sebagian ulama sebagai berikut:[16]
ما علم من الدّ ين با لضرورة وتواتر بين المسلمين أن النبيّ صلى ا الله عليه وسلّم فعله أو أمر به أو غير ذلك
Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir antara kaum muslimin bahwa Nabi saw mengerjakannya atau menyuruhnya dan atau selain itu.
Misalnya, berita-berita yang menjelaskan tentang shalat baik waktu dan raka’atnya, tata cara shalat jenazah, kadar zakat,  tata cara haji, hijab bagi perempuan dari yang bukan muhrimnya, dan lain-lain yang telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama. Semua itu terbuka dan disaksikan oleh banyak sahabat dan kemudian diriwayatkan secara terbuka oleh sejumlah besar kaum muslimin dari masa ke masa. Maka barang siapa yang menolak hadits mutawatir berarti dihukumi kafir, pernyataan ini tentunya terjadi pada mutawatir lafzhi dan ‘amali, sedang mutawatir ma’nawi bersifat ijtihad, maka tidak berlaku pernyataan tersebut.[17]

e.     Keberadaan Hadits Mutawatir
Ibn Shalah berpendapat bahwa hadits mutawatir jumlahnya tidak banyak. Pendapat ini dibantah keras oleh Ibn Hajar, “Orang yang mengatakan bahwa hadits mutawatir jumlahnya sedikit, berarti dia kurang serius dalam mengkaji hadits”
Para ulama kemudian berusaha mengakurkan dua pendapat ini. Apabila yang dimaksud oleh Ibn Shalah adalah hadits mutawatir lafdli, maka pendapat itu ada benarnya, karena keberadaan hadits mutawatir lafdli realitanya memang tidak banyak. Ibn Hajar tatkala mengatakan bahwa hadits mutawatir jumlahnya banyak, juga ada benarnya, jika yang dimaksud adalah hadits mutawatir maknawi atau mutawatir secara umum. [18] 

2.     Hadits Ahad
a.     Pengertian Hadits Ahad
Al Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.
Sedangkan ahad secara istilah, banyak didefinisikan para ulama, antara lain:[19]
الخبر الذي لم تبلغ نقلته فى ألكثرة مبلغ الخبرالمتواتر سواءٌ كان المخبر واحدا أواثنين أو ثلاثة أو أربعة أو جمسة إلى غير ذلك من الأعدادالّتي لاتشعر بأنّ اخبر دخل بها في خبرالمتواتر.
“Khabar yang tiada sampai jumlah banyak pemberitanya kepada jumlah khabar mutawatir, baik pengkhabar itu seorang, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya dari bilangan-bilangan yang tiada memberi pengertian bahwa khabar itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam khabar mutawatir”.
Ulama lainnya memberikan definisi:[20]
خبر الواحد هو ما نقّله واحد عن واحدأو واحد عن جماعة أو جماعة عن واحد ولا عبرة للعدد إذا لم تبلغ حد المشهور
“khabar wahid adalah khabar yang dinukilkan seorang rawi dari seorang rawi yang lain, atau yang dinukilkan seorang rawi dari sekelompok rawi, atau sekelompok rawi menukil dari seorang rawi dan secara jumlah tidak sampai pada batasan jumlah hadits masyhur”
Melihat dari beberapa definisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits ahad adalah sebagai berikut:[21]
1)     Hadits yang diriwayatkan oleh beberapa rawi, akan tetapi tidak mencapai derajat mutawatir
2)     Perawi-perawi tersebut dalam jumlah mengalami variasi dalam setiap thabaqah (tingkatan)
3)     Perawi-perawi dalam hadits ahad tidak berdasarkan jumlah, akan tetapi lebih tertuju pada kredibilitas perawi.

b.     Faedah Hadits Ahad [22]
Sebagaimana yang ditulis Moh. Akib Muslim dalam bukunya Ilmu Musthalah Hadis: Kajian Historis Metodologis, hadits Ahad memberikan manfaat kepada dzan (kemungkinan melakukan penelitian). Kata dzanii dalam beberapa literatur disinonimkan dengan istilah nazharii, relative, dan nisbi. Sinonim kata-kata ini apabila dihubungkan dengan faedah Ahad mempunyai arti tidak ada keharusan untuk menerima secara bulat tanpa adanya penelitian dan pembahasan apapun. Setiap hadits ahad tidak memberikan keyakinan dan kebenarannya bersifat relatif sesuai dengan kualitas pembawa berita dan kandungan berita yang dibawa. Untuk itu perlu untuk diadakan penelitian pada serangkaian sanad dan kandungan hadits.
Perawi-perawi hadits dalam hadits ahad perlu diteliti tentang keadilannya-ketaqwaannya, kemampuannya menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi perbuatan mubah yang dapat menodai keperwiraannya, atau tentang kedhabitannya- kuatnya ingatan, menguasai apa yang diriwayatkan. Fungsi sanad dalam hadits ahad sangat dominan. Hal ini berguna untuk mengetahui keadaan rawi apakah mendapat kritikan (jarh) ataupun mendapat pujian (ta’diil).
Secara teologis, orang yang mengingkari hasil yang telah dicapai oleh dzanii atau nadzarii dengan jalan ahad, tiada ada konsekuensi apapun. Artinya bahwa orang yang mengingkari terhadap hadits ahad tidak dianggap sebagai kafir.

c.      Kehujjahan Hadits Ahad
Hadits ahad dengan berbagai macam pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atau dhaif, bergantung pada syarat diterimanya hadits (syurut al qabul). Adapun kehujjahan hadits ahad jumhur ulama sepakat bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujjah selama hadits tersebut masuk kategori hadits maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadits. [23]
Persyaratan yang dikemukakan para ulama berkaitan dengan dua sisi, yaitu brkaitan dengan para perawi hadits dan berkaitan dengan substansi dari hadits. Adapun yang berkaitan dengan perawi hadits (sanad) adalah:[24]
1)     Perawi harus adil
2)     Perawi harus dhabit
3)     Perawi harus paham dengan hadis yang disampaikan
4)     Perawi harus melakukan dengan apa yang telah diriwayatkan
5)     Perawi harus menyampaikan hadits dengan huruf-hurufnya
6)     Perawi hendaknya mengetahui perubahan makna hadits dari lafal hadits yang sebenarnya.
Sedangkan persyaratan yang berkaitan dengan subtansi hadits, antara lain: [25]
1)     Hendaknya sanad bersambung dari Rasulullah
2)     Terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat)
3)     Hendaknya tidak bertentangan dengan as sunnah al Masyhurah, baik yang berupa qauliyyah maupun fi’liyyah
4)     Hendaknya tidak bertentangan dengan perilaku sahabat dan tabi’in, serta tidak bertentangan dengan ‘umuum kitab (universalitas Al Qur’an)
5)     Hendaknya sebagian ulama salaf tidak mencela (mengkritik) hadits tersebut
6)     Hendaknya dalam hadits tersebut tidak terdapat penambahan matan dan sanadnya, yang tambahan itu diriwayatkan secara mandiri dan menyalahi rawi-rawi yang tsiqah.
Para ulama banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadits ahad. Diantara dalil-dalil yang mereka gunakan adalah[26]:
1)     Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah saw tatkala menyebarkan Islam kepada para pemimpin negeri/raja, beliau menunjuk/mengutus satu atau dua orang sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus 12 sahabat untuk berpencar menemui 12 pemimpin saat itu untuk diajak menganut Islam. Kasus ini membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa oleh satu/dua orang sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya Rasulullah menilai jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut, demikian kata Imam Syafi’i
2)     Dalam menetapkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah saw mengutus satu orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengadilan arah kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis di Palestina kemudian dipindahkan ke arah kiblat (Ka’bah) di Mekkah. Info pengalihan ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama Nabi SAW kemudian datang ke salah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan shalat subuh lalu memberitahukan bahwa kiblat telah dirubah arah utuk menghadap ke ka’bah padahal mereka tidak mendengar sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam Syafi’i mengatakan, seandainya khabar satu orang yang dikenal jujur tidak dapat diterima niscaya mereka tidak akan menggubris informasi pemindahan arah kiblat tersebut.
3)     Termasuk dalil yang digunakan Imam Syafi’i untuk membuktikan kehujjahan hadits ahad adalah hadits yang berbunyi:
نضر الله امرا سمع منا شينا فبلغه كما سمع فرب مبلغ أو عى من سا مع
“Semoga Alloh membaguskan wajah orang yang mendengar dari kami sebuah hadis lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia dengar, bisa jadi orang disampaikan lebih memahami daripada orang yang mendengar” 
Anjuran Rasulullah saw untuk menghafal lalu menyampaikan pada orang lain menunjukkan bahwa khabar atau hadits yang dibawa orang tersebut dapat diterima dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dalil. Di sisi lain hadits yang disampaikan itu bisa berupa hukum-hukum halal haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadis ahad dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.

d.     Pembagian Hadits Ahad
1)     Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’ (sesuatu yang sudah tersebar dan populer). Menurut ulama ushul:[27]
ما رواه من الصّحا بة عدد لايبلغ حدّ التّواتر ثمّ توا تر بعد الصّحا بة ومن بعدهم
Hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”
Ada juga yang mendefinisikan:
ما له طرقٌ محصورةٌ بأكثر من اثنين ولم يلغ حدّ التّواتر
Hadits yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis yang mutawatir”.
Adapun menurut istilah terdapat beberapa definisi yang jika disimpulkan hadits masyhur adalah hadits yang: [28]
·       Diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
·       Hadis yang dalam jumlah setiap tingkatan tidak sama, tetapi jumlah lebih dari tiga
·       Hadis yang memiliki jalur terbatas
·       Hadis yang tidak mencapai derajat atau batasan mutawatir
Macam-macam hadits masyhur dapat dilihat dan dikaji dalam dua bagian besar, yaitu pembagian hadits masyhur dilihat dari tersebarnya (intisyaar) hadits dalam perspektif-perspektif dan pembagian hadits masyhur dilihat dari kualitas dari pembawa berita dalam rangkaian sanad.
Hadits masyhur yang dilihat dari beberapa perspektif bahasa (intisyaar) – masyhur dalam pembicaraan khalayak, tidak berdasarkan pada kajian hadits yang sebenarnya, boleh jadi hadits masyhur itu hanya terdiri dari dua sanad, satu sanad, tidak bersanad, bahkan sanadnya palsu. Diantara contohnya adalah sebagai berikut:[29]
·       Masyhur di kalangan ahli hadits,
حد ثنا عمرو النا قد حدثنا الأسود بن عا مر اخبر قا شعبة عن قتا دة عن أنس بن مالك أن النبي صلى الله عليه وسلم قنمت ثهرا بلعن رعلا وذكو ان و عصية عصوا الله ورسولو
“Imam Muslim menyatakan, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode sama’) dari Amr an Naaqid, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode sama’) dari al Aswad bin ‘Amir, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode sama’) dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas bin Maalik, sesungguhnya Nabi Saw bersabda: Nabi berdoa sebulan dan melaknat ri’liin dan Dakwan dan orang yang maksiat, yaitu orang yang maksiat kepada Alloh dan RasulNya.”
·       Masyhur di kalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama lain, dan di kalangan orang awam seperti:
اَلْمُسْلِمُونَ مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَا نِهِ وَيَدِهِ
Artinya: “Orang Islam (yang sempurna) itu adalah orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya” (H.R Bukhari dan Muslim)
·       Masyhur di kalangan ulama ahli fiqih, seperti:
نهى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن بيع الغرر
Artinya: “Rasulullah saw melarang jual beli yang di dalamnya terdapat unsure tipu daya”.
·       Masyhur di kalangan ulama ahli ushul fiqih, seperti:
اذاحكم احاكم ثمّ اجتهد فا صا ب فله اجران واذاحكم فاجتهد ثمّ أخطأ فله اجر
Artinya: “Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihad itu salah, maka dia memperoleh suatu pahala (pahala ijtihad)”.
·       Masyhur di kalangan ahli sufi, seperti:
كنت كنز مخفيّا فأحببت أن أعرف فخلقت اخلق فبي عرفونى
Artinya: “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku,”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan, dan dha’if. Hadits masyur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matan-nya, seperti hadits dari Ibn ‘umar berikut ini:[30]
                        إذاجاءكم الجمعة فليغسل
                        Artinya: “Barangsiapa yang hendak pergi melaksanakan sholat Jumat, hendaklah ia mandi”.
                                    Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik sanad maupun matan-nya, seperti hadits Nabi saw berikut ini:
لاضررولاضرار
                        Artinya: “Tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal”.
                                    Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun matan-nya, seperti hadits:
طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة
                        Artinya: “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”.

2)     Hadits ‘Aziz
Hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya.
                        Contoh hadits ‘aziz pada thabaqah pertama:[31]
نحن لاخرون السّا بقون يوم القيامة (رواه أحمد والنسائ)
Artinya: “Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari kiamat”. (H.R Ahmad dan An Nasa’i).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat (thabaqah) pertama, yakni Hudzaifah ibn Al Yaman dan Abu Hurairah, hadits tersebut pada thabaqah kedua sudah menjadi masyhur sebab melalui periwayatan Abu Hurairah, hadits diriwayatkan oleh tujuh orang yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, Al A’raj, Abu Shalih, Humam, dan ‘Abd Ar Rahman.

Contoh hadits ‘aziz pada thabaqah kedua, yaitu:[32]
لايوءمن أحدكم حتىّ أكون أحبّ إليه من نفسه من ولده ووالده والنّاس أجمعين (متفق عليه)
Artinya: “Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga Aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya”(Mutafaq’alaih).
Hadits ini diterima oleh Anas bin Malik (thabaqah pertama), kemudian diterima oleh Qatadah dan ‘Abd Al Aziz (thabaqah kedua). Dari Qatadah diterima oleh Husain Al Mu’allim dan Syu’bah, sedangkan dari ‘Abd Al Aziz diriwayatkan oleh ‘Abd Al Warist dan Ismail Ibn Ulaiyah (thabaqah ketiga). Pada thabaqah keempat, hadits ini diterima masing-masing oleh Yahya Ibn Ja’far dan Yahya ibn Sa’id dari Syu’bah, Zubair ibn Harb dari Ismail, dan Syaiban ibn Abi Syaibah dari ‘Abd Al Warits.

3)     Hadits Gharib
Hadits Gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun sanad. Dengan batasan tersebut, maka apabila suatu hadits diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi saw dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadits tersebut dipandang sebagai hadits gharib.  Contoh hadits gharib:[33]
عن عمرابن الخطّاب رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: انّما الاعمال با لنّيات و انّما لكلّ امرئ ما نوى (رواه البخارى ومسلم وغرهما)
                        Artinya: “Dari Umar bin Khattab, katanya, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya” (H.R Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
                        Kendati hadits di atas diriwayatkan oleh banyak imam hadits termasuk Bukhari dan Muslim, namun pada tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat nabi, yaitu Umar bin Khattab, dan pada tingkatan kedua juga diriwayatkan oleh satu tabi’in, yaitu Al Qamah. Dengan demikian, hadits ini dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh satu orang termasuk hadits gharib.
                                    Hadits Gharib dibagi menjadi dua macam, yaitu hadits gharib mutlak dan hadits gharib nisbi. Hadits gharib mutlak adalah hadits yang gharabahnya (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad, pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang sahabat.


Contohnya hadist gharib mutlak:[34]
الولاءلحمة كلحمة النّسب لايباع ولايوهب
                        Artinya: “Kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
                        Hadits di atas diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkannya. Abdullah bin Dinar adalah seorang tabi’in yang hafizh, kuat ingatannya, dan dapat dipercaya.
                                    Sedangkan hadist gharib nisbi adalah hadits yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) di tengah sanad. Peneyendirian seorang rawi seperti itu biasanya terjadi berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan (kesiqahan) perawi atau mengenai tempat tinggal/kota tertentu.
Contohnya hadits gharib nisbi berkenaan dengan kesiqahan perawi antara lain adalah:[35]
كان صلّى الله عليه وسلّم يقرأ فى الأضحى والفطر ب (ق) واقتربت السّا عة وانشقّ القمر
                       
Artinya: “Dikabarkan bahwa Rasulullah SAW pada hari raya kurban dan hari raya fitrah membaca Surat Qaf dan Surat Al Qamar
                        Hadits tersebut diriwayatkan melalui dua jalur , yakni jalur Muslim dan Jalur Ad Daruqutni. Melalui jalur Muslim terdapat rentetan sanad: Muslim, Malik, Dumrah bin Said, Ubaidillah, dan Abu Waqid Al Laisi yang menerima langsung dari Rasulullah saw. Adapun melalui jalur Daruqutni, terdapat rentetan sanad: Daruqutni, Ibnu Lahiah, Khalid bin Yazid Urwah, Aisyah yang langsung menerima dari Nabi saw.
                                    Pada rentetan sanad yang pertama, Dumrah bin Said Al Muzani disifati sebagai seorang muslim yang tsiqah. Tidak seorangpun rawi-rawi tsiqah yang meriwayatkan hadits tersebut selain dirinya sendiri. Sementara itu, melalui jalur kedua, Ibnu Lahiah yang meriwayatkan hadits tersebut dari Khalid bin Yazid dari Urwah dari Aisyah. Ibnu Lahiah disifati sebagai seorang rawi yang lemah.
                                    Contoh hadits gharib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu, antara lain adalah:[36]
أمرنارسول الله صلّى الله عليه وسلّم أن تقرأ بفا تحةالكتاب وما تيسّرمنه
Artinya: “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kamu agar kita membaca Al Fatihah dan surat yang mudah dari Al Qur’an
                        Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al Wahid Ath Thayalisi, Hamman, Qatadah, Abu Nadrah, dan Said. Semua rawi ini berasal dari Bashrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota yang lain. 

3.     Perbedaan Hadits Mutawatir dengan Hadits Ahad
Adapun perbedaan itu adalah:[37]
a.      Dari segi jumlah rawi, hadits mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan hadits ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.
b.     Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadits mutawatir menghasilkan Ilmu qat’i (pasti) atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini) bahwa hadits ini sungguh-sungguh dari Rasulullah sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadits ahad menghasilkan ilmu zanni (bersifat dugaan) bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah saw, sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.
c.      Dari segi kedudukan, hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Agama Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hadits ahad. Sedangkan kedudukan hadits ahad sebagai sumber ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadits mutawatir.
d.     Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadits mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Qur’an, sedangkan keterangan matan hadits ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat Al Qur’an. Bila dijumpai hadits-hadits dalam kelompok haits ahad yang keterangan matan haditsnya bertentangan dengan keterangan ayat Al Qur’an, maka hadits-hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah. Mustahil Rasululloh mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an.

B.    PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITASNYA
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hadits mutawatir memberikan pengertian yang yaqin bi al- qath’, artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuannya) di hadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenaran sumbernya sungguh telah menyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanad-nya maupun matan-nya.
Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanad-nya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas apakah dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak. Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. [38]
1.     HADITS SHAHIH
a.     Pengertian Hadits Shahih
Menurut istilah, hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanad-nya bersambung-sambung, tidak ber-‘illat, dan tidak janggal. [39]. Definisi yang lain dinyatakan oleh Al Suyuthi:[40]
      ما اتّصل سنده با لعد ول الضّا بطين من غير شذ وذ ولاعلة
“Hadis yang bersambung sanadnya,diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syaz, dan tidak ber’illat”
           
b.     Syarat Hadits Shahih
Menurut muhaddisin, suatu hadits dapat dinilai shahih apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:[41]
1)     Rawinya bersifat adil
Menurut Ar Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang sembarangan, bergurau berlebihan, dll
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil, adalah:
·       Beragama Islam
·       Berstatus mukalaf
·       Melaksanakan ketentuan agama
·       Memelihara muru’ah

2)     Rawinya bersifat dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hafalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkan kembali ketika meriwayatkannya
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja, orang itu dinamakan dhabtu shadri, sedangkan kalau apa yang disampaikan itu berdasarkan buku catatan (teks book) ia disebut dhabtu kitab. Rawi yang ‘adil dan sekaligus dhabith disebut tsiqah. 
3)     Sanad-nya bersambung[42]
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama. Jadi suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung apabila:
·       Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
·       Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al hadits

4)     Tidak ber-‘illat
Maksud bahwa hadist yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihannya, yakni hadits itu terbebas dari sifat samar-samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya cacat tersebut.
5)     Tidak syadz (janggal)[43]
Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajah) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam kedhabitan atau adanya segi-segi tarjih yang lain.

c.      Klasifikasi Hadits Shahih
Para ulama hadits membagi hadits shahih memjadi dua macam, yaitu:
1)     Shahih Li dzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut di atas. Contohnya:[44]
حدّثناعبد الله بن يوسف اخبر نا مالك عن نا فع عن عبد الله انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال: اذاكا نوا ثلا ثة فلا يتناجى اثنان دون الثّالث (رواه البخارى)
Artinya: “Bukhari berkata, “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga.” (H.R Bukhari)
            Hadits di atas diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf menerima dari Malik, Malik menerimanya dari Nafi’, Nafi’ menerimanya dari Abdullah, dan Abdullah itulah sahabat Nabi yang mendengar Nabi saw bersabda seperti tercantum di atas. Semua nama-nama tersebut, mulai dari Bukhari sampai Abdullah (sahabat) adalah rawi-rawi yang adil, dzabit, dan benar-benar bersambung. Tidak ada cacat, baik pada sanad maupun matan. Dengan demikian hadits di atas termasuk hadits shahih li zatih 
2)     Shahih Li Ghairihi, yaitu hadits dibawah tingkatan sahih yang menjadi hadits shahih karena diperkuat oleh hadits-hadits lain. sekiranya hadits yang memperkuat itu tidak ada, maka hadits tersebut hanya berada pada tingkatan hadits hasan. Hadits sahih li ghairihi hakekatnya adalah hadits hasan lizatih (hadits hasan karena dirinya sendiri)
Hadits dibawah ini merupakan contoh hadits hasan li dzatih yang naik derajatnya menjadi hadits shahih li ghairih:[45]
عن ابى هريرة رضى الله عنه انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال: لولا ان اشقّ على امّتى لا مر تهم بالسّواك عند كلّ صلاة (رواه البخارى و الترمذى)
Artinya: “Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan  kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat”. (H.R Bukhari dan Turmudzi)

2.     HADITS HASAN
a.     Pengertian Hadits Hasan[46]
Hadits hasan adalah hadist yang telah memenuhi lima persyaratan hadits shahih sebagaimana disebutkan terdahulu, hanya saja bedanya, pada hadits shahih daya ingatan perawinya sempurna, sedangkann pada hadits hasan daya ingatan perawinya kurang sempurna.
Menurut Ibn Hajar, hadis hasan adalah:[47]
خبر الأ حاد بنقل عد ل تامّ الضّبط متّصل السّند غير معلّل ولا شاذ
Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz”

b.     Klasifikasi Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih terbagi menjadi dua macam, hadits hasan-pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighayrih. Hadits hasan lidzatih adalah hadits yang terwujud karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para perawinya memenuhi syarat-syarat hadist shahih, kecuali keadaan rawi (rawinya kurang dzabit).
Contohnya hadits hasan lidzatih, hadist ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al Hassan bin Urfah Al Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi bersabda:[48]
اعمار أمّتي ما بين السّتّين إلي السّبعين وأقلّهم من يجوز ذلك
Artinya: “Usia umatku sekitar 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu”.
Para perawi hadits di atas tsiqah semua kecuali Muhammad bin Amr dia adalah shaduq (sangat benar). Oleh para ulama hadits nilai ta’dil shaduq tidak mencapai dhabith tamm sekalipun telah mencapai keadilan, ke-dhabith-annya kurang sedikit jika dibandingkan dengan ke-dhabith-an shahih seperti tsiqatun (terpercaya) dan sesamanya.
Sedangkan hadits hasan li ghairih adalah hadits di bawah derajat hasan yang naik ke tingkatan hadits hasan, karena hadits lain yang menguatkannya atau hadits hasan li ghairih adalah hadits dha’if yang karena dikuatkan oleh hadits lain, meningkat menjadi hadits hasan.
Contoh hadits hasan li ghairihi, hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Al Hakam bin Abdul Malik dari Qatadah dari Sa’id bin Al Musayyab dari Aisyah, Nabi bersabda: [49]
لعن الله العقرب لاتدع مصلّيا ولا غيره فاقتلوها فى الحل والحرم
Artinya: “Alloh melaknat kalajengking janganlah engkau membiarkannya baik keadaan shalat atau yang lain, maka bunuhlah ia di Tanah Halal atau di Tanah Haram”.
Hadits di atas dha’if karena Al Hakam bin Abdul Malik seorang dha’if tetapi dalam sanad lain riwayat Ibn Khuzaimah terdapat sanad lain yang berbeda perawi di kalangan tabi’in (mutabi’) melalui Syu’bah dari Qatadah. Maka ia naik derajatnya menjadi hasan li ghairih.

3.     KEHUJJAHAN HADITS SHAHIH DAN HADITS HASAN
Para ulama sependapat bahwa seluruh hadits shahih baik shahih lidzatih maupun sahih li ghairih dapat dijadikan hujjah. Mereka juga sependapat bahwa hadis hasan, baik hasan lidzatih maupun hasan li ghairih, dapat dijadikan hujjah. Hanya saja mereka berbeda pandangan dalam soal penempatan rutbah, yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing. Ada ulama yang membedakan kualitas kehujjahan, baik antara sahih li dzatih dengan shahih li ghairih dan hasan li dzatih dengan hasan li ghairih, maupun antara hadits shahih dan hadits hasan itu sendiri. Namun ada juga ulama yang mencoba memasukkan hadits-hadits dalam satu kelompok tanpa membedakan kualitas antara satu dengan yang lainnya, yakni dalam kelompok hadits shahih. Pendapat ini antara lain dianut oleh Al Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Huzaimah.
Para ulama yang berusaha membedakan kehujjahan hadits berdasarkan perbedaan kualitas, sebagaimana dianut oleh kelompok pertama, mereka lebih jauh membedakan rutbah hadits-hadits tersebut berdasarkan kualitas para perawinya, yaitu berikut ini: [50]
1.     Pada urutan pertama, mereka menempatkan hadits-hadits riwayat Mutafaq alaih (hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim)
2.     Urutan kedua, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
3.     Urutan ketiga, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
4.     Urutan keempat, hadits-hadits diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim (Sahih ‘ala Syart Al Bukhari wa Muslim)
5.     Urutan kelima, hadits-hadits yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari (Shahih ‘ala Syart Al Bukhari) sedang ia sendiri tidak meriwayatkannya
6.     Urutan keenam, hadits-hadits yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Muslim (Shahih ‘ala Syart Muslim) dan ia sendiri tidak meriwayatkannya.
7.     Urutan ketujuh, ialah hadits-hadits yang diriwayatkan tidak berdasarkan kepada salah satu syarat dari Bukhari atau Muslim.
Penempatan hadits-hadits tersebut berdasarkan urutan-urutan di atas akan terlihat kegunaannya ketika terlihat adanya pertentangan (ta’arud) antar dua hadits. Hadits-hadits yang menempati urutan pertama dinilai lebih kuat daripada hadits-hadits yang menempati urutan kedua atau ketiga, begitu juga seterusnya.

4.     HADITS DHA’IF
a.     Pengertian Hadits Dha’if
Hadits dha’if  secara bahasa berarti hadits yang lemah[51]. Secara istilah hadits dha’if adalah hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits shahih atau hadits hasan). Contoh hadits dha’if:[52]
                        من أتى حا ئضا أو امرأة من دبر أو كا هنا فقد كفر بما أنزل على محمّد
Artinya: “Barangsiapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw”. 
Hadist tersebut diriwayatkan oleh At Tirmidzi melalui jalan Hakim Al Atsram dari Abu Tamimah Al Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. Dalam sanad itu terdapat seorang dha’if yaitu Hakim Al Atsram yang dinilai dha’if oleh para ulama.

b.     Klasifikasi Hadits Dha’if
Para ulama muhaddisin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan, yakni sanad dan matan. Sebab-sebab tertolaknya hadits dari sanad:[53]
·       Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan atau kedzabitannya
·       Ketidakbersambungan sanad, dikarenakan seorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain
Adapun kecacatan rawi itu antara lain sebabnya: dusta, tertuduh dusta, fasik, banyak salah, lengah dalam menghafal, menyalahi riwayat orang kepercayaan, banyak waham (purbasangka), tidak diketahui identitasnya, penganut bid’ah, tidak baik hafalannya. [54]
Klasifikasi hadits dha’if  berdasarkan cacat pada ke-adil-an dan ke-dhabit-an rawi dibagi antara lain: [55]
·       Hadits Maudhu’ (hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw secara palsu dan dusta)
·       Hadits Matruk (hadits yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta)
·       Hadits Munkar (hadist yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahan, banyak lengah, tampak fasik)
·       Hadits Syadz (hadist yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun yang lebih tinggi daya hafalnya)
Sedangkan klasifikasi hadits dha’if berdasarkan gugurnya rawi, terbagi:[56]
·       Hadits Mu’allaq (hadits yang seorang atau lebih rawinya gugur pada awal sanad secara berurutan)
·       Hadits Mu’dhal (hadist yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan)
·       Hadits Mursal (hadist yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in)
·       Hadits Munqathi (hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berurutan)
·       Hadits Mudallas (hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak bernoda)

c.      Kemungkinan Hadits Dha’if menjadi Hasan
Hadits dha’if dapat naik derajatnya menjadi hadits hasan (li ghairih) bila satu riwayat dengan yang lainnya sama-sama saling menguatkan. Akan tetapi ketentuan ini tidak bersifat mutlaq karena ketentuan ini bagi para perawi yang lemah hafalannya, akan tetapi kemudian ada hadist dhaif lain yang diriwayatkan oleh perawi yang sederajat pula, maka hadits tersebut bisa naik derajatnya menjadi hadits hasan. [57]
Sementara bila ke-dha’if-an sebuah hadis karena perawinya disifati fisq dan tertuduh dusta maka ke-dha’if-an tadi tidak bisa terangkat. Contoh haditsnya sebagai berikut:[58]
با دروا بالأعمل سبعا: هل تنتظرون إلاّ مرضا مفسدا، وهرما مفنّدا، أو غنى مطغيا، أوموتا مجهزا، أو الدّجّا ل، فشرٌّ، أو السّا عة، والسّا عة أد هى وأمرّ
Artinya: “Bersegeralah kamu melakukan amal-amal (saleh) sebelum datangnya tujuh perkara: (yaitu) kamu menunggu datangnya penyakit yang merusak, masa tua yang renta (menyebabkan pikun), kekayaan yang menjadikanmu suka menyeleweng, kemiskinan yang menjadikan lupa, kematian yang begitu cepat datangnya, atau dajjal yang merupakan kejahatan yang dinantikan kedatangannya, atau hari kianat, sedangkan hari kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit”.
Hadits tersebut dhaif. Diriwayatkan oleh Tirmidzi (III/257), al Uqaili dalam adh Dhu’afa (425), dan Ibnu Adi (I/341), dari Mahraz bin Harun, dia berkata, saya mendengar al A’raj menginformasikan dari Abu Hurairah secara marfu’
Al uqaili berkata, “Al Bukhari berkata tentang Mahraz bin Harun, ‘Mungkar haditsnya.’ Hadits ini juga diriwayatkan dengan isnad lain dari jalan yang lebih layak daripada ini.”
Tirmidzi berkata, “Hadits ini Hasan gharib”
Demikianlah yang dikatakannya. Barangkali yang dimaksudnya ialah hasan li ghairih karena jalan periwayatan yang diisyaratkan oleh al Uqaili itu, yaitu yang diriwayatkan oleh Hakim (IV/321) dari jalan Abdullah, dari Ma;mar, dari Sa’id al Maqbari, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw, beliau bersabda,

ما ينتظر أحدكم إلاّ غنى مطغيا
“Tidaklah seseorang dari kamu melainkan menantikan masa kaya yang menyebabkan penyelewengan,”
Tanpa menggunakan perkataan Baadirru bil a’maali sab’an ‘Bersegerala kamu melakukan amal shaleh sebelum datangnya tujuh perkara’. Dia berkata, “Sahih menurut syarat Syaikhaini.” Perkataan ini disetujui oleh adz Dzahabi.
      Dilihat dari zahir sanad, memang seperti apa yang mereka katakana itu. Akan tetapi, saya menjumpai cacat yang samar karena Abdullah yang meriwayatkannya dari Ma’mar itu adalah Abdullah ibnul Mubarak yang telah meriwayatkan dalam kitabnya, az Zuhd, dan al Baghawi meriwayatkannya darinya dalam Syarhus Sunnah kepada isnad ini. Hanya saja, dia mengatakan, “Telah diberitahukan kepada kami oleh Ma’mar bin Rasyid, dari seseorang yang mendengar al Maqbari menginformasikan dari Abu Hurairah…..”
      Dengan demikian, jelaslah bahwa hadits ini tidak diriwayatkan oleh Ma’mar dari al Maqbari, tetapi diantara mereka terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya. Hal ini diperkuat dengan keadaan bahwa para ahli hadits tidak menyebut Ma’mar dalam jajaran guru Ma’mar al Maqbari, tetapi diantara mereka terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya, orang yang tak dikenal (majhul) inilah yang menjadi cacat sanad ini.

d.     Kehujjahan Hadits Dha’if
Para ulama berbeda pendapat tentang pengamalan hadits dha’if, yang dirangkum menjadi tiga pendapat:[59]
1)     Menurut Abu Dawud dan Imam Ahmad, hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak. Alasannya adalah hadits dha’if lebih kuat daripada akal perorangan (qiyas)
2)     Menurut Ibn Hajar, hadits dha’if bisa digunakan dalam masalah fadha’il al-a’mal (keutamaan amal), mawa’izh, atau yang sejenisnya jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:
·       Ke-dha’if-annya tidak terlalu. Tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh berdusta, atau terlalu sering melakukan kesalahan
·       Hadits dha’if itu masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan
·       Ketika mengamalkannya tidak menyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati.
3)     Hadits dha’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadha’il maupun hukum-hukum (ahkam). Demikian pendapat Ibn ‘Arabi, Imam Al Bukhari, Imam Muslim, Ibn Hazm, dll.
Menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dalam bukunya M. Noor Sulaiman, pendapat ketigalah yang paling aman. Ia memberikan alasan bahwa kita memiliki hadits-hadits shahih tentang fadha’il, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) yang merupakan sabda Nabi saw yang sangat padat dan berjumlah besar. Hal itu menunjukkan bahwa kita tidak perlu menggunakan dan meriwayatkan hadits dha’if mengenai masalah fadha’il dan sejenisnya.
Contoh haditsnya sebagai berikut:[60]
من كان مو سرا لأن ينكح فلم ينكع، فليس منّى
Artinya: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk menikah, tetapi dia tidak mau menikah, maka dia tidak termasuk golonganku
Hadits tersebut diatas adalah dhaif. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf (VII/I/2), ath Thabrani dalam al Ausath (I/62/1), al Baihaqi dalam as sunan (VII/78) dan dalam Syu’abul Iman (II/134/2), dan al Wahidi dalam al Wasith (III/114/2)dari Ibnu Juraij, dari Umair bin Mughallis, dari Abu Najih secara marfu’.
Muhammad Nashirudin Al Albani menyatakan alasan kedhaifan hadits tersebut dalam bukunya Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu’, sebagai berikut:
Pertama, mursal, karena Abu Najih itu seorang tabi’in yang dapat dipercaya, namanya Yasar.
Kedua, kelemahan Umair bin Mughallis. Dia dimasukkan oleh al Uqaili dalam adh Dhu’afa (hlm.317) seraya berkata, “Dia meriwayatkan dari hariz bin Utsman, dari Abdur Rahman bin Jubair, dan tidak ada yang mendukungnya, dan hadits itu tidak dikenal kecuali melalui dia. Dan dengan cacat yang di muka itulah al Baihaqi mencatat hadits ini dengan mengatakan, “(Hadits) ini mursal”.




























BAB III
KESIMPULAN

Yang dapat disimpulkan dari makalah ini, antara lain sebagai berikut:
        1.        Hadits ditinjau dari segi kuantitasnya dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad
        2.        Hadits mutawatir terbagi menjadi tiga macam yaitu: mutawatir lafzhi, mutawatir ma’nawi, dan mutawatir ‘amali
        3.        Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi tiga yaitu: masyhur, ‘azis, gharib (gharib mutlak dan gharib nisbi)
        4.        Hadits ditinjau dari segi kualitasnya dibagi menjadi tiga, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. 
        5.        Baik hadist shahih maupun hadits hasan terbagi menjadi dua yaitu lidzatih dan lighairihi
        6.        Sedangkan pengklasifikasian hadits dha’if  berdasarkan cacat pada ke-adil-an dan ke-dhabit-an rawi dibagi antara lain: hadits maudhu’, hadits matruk, hadits munkar, hadits syadz. Klasifikasi hadits dha’if berdasarkan gugurnya rawi, terbagi menjadi:hadits mu’allaq, hadits mu’dhal, hadits mursal, hadits munqathi, hadits mudallas.













DAFTAR RUJUKAN

Ahmad, Muh. dan M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia

Al Albani, Muh. Nashiruddin. 2001. Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu. Diterjemahkan oleh As’ad Yasin. Jakarta: Gema Insani.

Anwar, Moh. 1981. Ilmu Musthalah Hadits. Surabaya: Al Ikhlas.
Hassan, A.Qadir. 2002. Ilmu Musthalah Hadits.Bandung: CV. Diponegoro
Khon, Abdul Majid. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah
Khumaidi, Irham. Ilmu Hadis Untuk Pemula. Jakarta: CV. Artha Rivera.
Mudasir. 2010. Ilmu Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Muslim, Moh. Akib. 2010. Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian Historis Metodologis. Kediri: STAIN Kediri Press.

Solahuddin, M dan Agus Suryadi. 2009. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sulaiman, M. Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press
Smeer, Zeid. B. 2008. Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: UIN Press.

Zuhri, Muh. 2003. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.









[1] Muh.Zuhri, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 83.
[2] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2010), 113.
[3] Ibid.,hlm.114
[4] Mudasir, Ilmu Hadis ….., 115.
[5] Moh. Akib Muslim, Ilmu Musthalah Hadits: Kajian Historis Metodologis (Kediri: STAIN Kediri Press, 2010), 87-88.
[6] http://nurulhusnayusuf-makalahku.blogspot.com/2011/04/hadist-mutawatir-dan-ahad.html

[7] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008), hal 132.
[8] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002). 106.
[9] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis (Malang: UIN Press, 2008). 42
[10] Nama Lengkapnya adalah Taqiy Al-Din Abu Al-Abbas Ahmad ibn Abd Al Halim ibn ‘Abd Al Salam ibn ‘Abdullah Al-Khidr ibn Muhammad Al-Hidr ibn ‘Ali bin Abdillah yang dilahirkan pada tahun 661 H/1263 M di Kota Harran, Mesopotamia Utara (kini masuk wilayah Turki dekat dengan perbatasan Irak. Adapun tahun wafatnya adalah 728 H.
[11] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis…… hal 135
[12] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits (Bandung: CV. Diponegoro,2002), hlm.47
[13] Ibid., hlm.136
[14] Ibid., hlm.137
[15] Muhammad A. & M. Mudzakir, Ulumul Hadis (Bandung: CV.Pustaka Setia,2000), hlm.90-91
[16] Ibid.,hlm.137
[17] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis ….. hal 137
[18] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis…… hal.42
[19] M.Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2009), hlm. 133
[20] Moh. Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadits…..,hlm.104
[21] Ibid.,hlm.105
[22] Ibid.,hlm.106
[23] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis…..,hlm.46
[24] Moh. Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadits….., hlm 106
[25] Ibid.,hlm.107
[26] Op.cit, Ulumul Hadis……hal 46-48
[27] Munzier Suparta, Ilmu Hadis…..,110-111
[28] Moh. Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis,….. hal 109
[29] Ibid., hlm.110-113
[30] Ibid.,hlm.114-115
[31] Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits….,hlm.136
[32] Ibid.,hlm.137
[33] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis……,hlm.144
[34] Mudasir, Ilmu Hadis….,hlm.136
[35] Ibid.,hlm.136
[36] Ibid.,hlm.137
[37] Muh.Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadist (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000), 98-99.
[38] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hal 95.
[39] M. Solahuddin, Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hal 141.
[40] Munzier Suparta, Ilmu Hadis…..,hlm.129
[41] Ibid.,hlm.142
[42] Ibid.,hlm.143
[43] Ibid.,hlm144
[44] Muh. Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis….. hal 106
[45] Mudasir, Ilmu Hadis…..,hlm. 149-150
[46] Ibid.,hlm. 152-154
[47][47] Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis….,hlm 145-146
[48] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis…, hlm160
[49] Ibid.,hlm 161
[50] Mudasir, Ilmu Hadis….. hal 155-156.
[51] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis…..,hlm.163
[52] Ibid.,hlm.164
[53] M.Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis…..,hlm.148
[54] Ibid.,hlm 149
[55] Ibid.,hlm 150
[56] Ibid.,hlm 151-154
[57] Munzier Suparta, Ilmu Hadis….. hal 171-172
[58] Muhammad Nashirudin Al Albani, Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu’ (Jakarta: Gema Insani,2001), hlm.150
[59] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis…… hal 112-113
[60] Op.cit. hlm.411

1 komentar: